Thursday, September 16, 2010

Cinta Kepada Rasu -

Pada saat Rasulullah SAW berhijrah dari Makkah ke Madinah, beliau ditemani oleh sahabatnya, Abu Bakar Shiddiq RA. Terkait masalah ini ada hal menarik dari apa yang diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dalam kitabnya al-Mustadrak. Beliau menyebutkan, sepanjang perjalanan tersebut Abu Bakar berjalan berpindah-pindah posisi. Sesekali mengambil posisi di depan beliau, dan kadangkala di belakangnya. 

Apa yang dilakukan Abu Bakar rupanya membuat Rasulullah SAW berasa hairan. Beliaupun segera bertanya, “Wahai Abu Bakar, apakah gerangan yang menjadikan engkau sesekali berjalan di depanku lalu sesekali pindah berjalan di belakangku?” Abu Bakar pun menjawab serius, “Bila aku ingat orang-orang yang mengejarmu, aku berjalan di belakangmu agar aku dapat melindungimu. Namun, ketika aku teringat pada orang-orang yang hendak menerjangmu dari depan akupun berjalan di depanmu. ”Mendengar jawapan demikian Nabi Muhammad SAW melanjutkan bertanya, “Wahai Abu Bakar, jika terjadi sesuatu, apakah engkau suka hal itu menimpamu dan tidak menimpaku?” Abu Bakar menjawab tanpa ragu, “Benar. Demi Allah yang mengutusmu dengan hak, jika ada suatu perkara yang menyakitkan maka aku lebih suka hal itu menimpaku dan tidak menimpamu. ”

Ketika keduanya sampai di Gua Tsur, Abu Bakar melakukan inspeksi terdahulu terhadap isi gua. Barangkali ia khuatir ada hal yang membahayakan Nabi seperti ular. 

Abu Bakar segera masuk gua lalu membersihkannya dari segala sesuatu yang dapat mengganggu. Setelah selesai melakukan pembersihan di dalam gua Abu Bakar mempersilakan Nabi masuk. 

Sepenggal kisah di atas menggambarkan betapa cintanya Abu Bakar kepada Rasulullah Muhammad SAW. Apa sebenarnya yang ada di dalam fikiran Abu Bakar semasa itu? Ketika ditanya Nabi tentang mengapa ia melakukan hal tersebut, ia mengatakan: ”Kalau aku yang binasa, tidak akan ada apa-apa. Sebab, aku hanyalah seorang awam. Namun, bila engkau binasa, bagaimana dengan kaum Muslim dan masa depan Islam. Engkau adalah inti agama ini. ” Nampak jelas, dibalik kecintaan Abu Bakar kepada Rasulullah adalah kecintaannya kepada Islam. Seakan-akan Abu Bakar menegaskan bahawa disamping memuliakan diri Nabi, salah satu bukti penting kecintaan seseorang kepada Nabi Muhammad SAW adalah pembelaannya kepada Islam yang beliau bawa. 

Sikap yang sama juga terdapat dalam diri seorang sahabat. Thariq bin Shihab meriwayatkan bahawa ia pernah mendengar Ibnu Mas'ud berkata, ”Aku bersama Miqdad bin al-Aswad pernah ikut perang Badar. Jika aku menjadi peraih syahid, maka itu lebih aku sukai daripada terlepas darinya. Orang itu datang kepada Nabi SAW pada saat beliau sedang berdoa bagi kehancuran kaum musyrik. Ia pun berkata, ”Kami tidak akan mengatakan sebagaimana pernyataan kaum Musa kepada Musa, nabi mereka 'Pergilah engkau dan Tuhan-mu berperang'. Sebaliknya, kami akan berperang di sebelah kananmu, di sebelah kirimu, di depan dan di belakangmu. Maka aku melihat wajah Nabi SAW bersinar-sinar dan perkataannya menunjukkan kegembiraan. Padahal, kata Nabi, yang disebut berperang di jalan Allah itu adalah li i'lai kalimatillah (meninggikan kalimat Allah). Kerananya, berperang dari segenap arah bersama Nabi sebenarnya dalam rangka membela Islam sekaligus Rasul yang membawanya. Bahkan, Sa'ad pernah menunjukkan sikapnya untuk siap berperang mengorbankan nyawa sekalipun dalam menghadapi orang-orang yang mencampakkan Islam dengan cara mendustakan Rasulullah. Itulah kecintaan para sahabat, kecintaan pada Rasul yang dibuktikan dengan kecintaan, penerapan, dan pembelaan pada Islam. 

Segenap kecintaan sahabat kepada Nabi berintikan kecintaan kepada Islam. Bahkan, kecintaan isterinya pun demikian. Kecintaan Khadijah kepada Nabi Muhammad SAW bukanlah sedangkal cinta seorang isteri kepada suami, melainkan cinta seorang umat kepada Rasulullah yang diutus kepadanya sekaligus kecintaannya kepada Islam. Ketika Nabi ketakutan saat pertama kali menerima wahyu, Khadijah malah berkata, ”O, putera pamanku, bergembiralah, dan tabahkanlah hatimu! Demi Dia yang memegang hidup Khadijah, aku berharap kiranya engkau akan menjadi Nabi atas umat ini. Sama sekali Allah tidak akan mencemuhkan kau. . . ”. Gambaran ini pun nyata sekali dalam ungkapan Nabi tentangnya: ”Demi Allah, aku tidak pernah mendapat pengganti yang lebih baik daripada Khadijah. Ia beriman kepadaku ketika semua orang ingkar. Ia mempercayaiku kala semua orang mendustakanku. Ialah yang memberi harta pada saat semua orang enggan memberi. Dan darinya aku memperoleh keturunan, sesuatu yang tidak kuperoleh dari isteri-isteriku yang lain”. 

Kini, 1400 tahun telah berlalu. Adakah kecintaan kepada Rasul terlekat dalam hati? Ketika Nabi dilecehkan berulang-ulang, sudahkah kita membelanya? Saat Islam dilecehkan dalam filem fitna, ajaran-ajarannya tentang poligami, hukuman mati (qishash) dan jihad disudutkan dengan dalih bertentangan dengan hak asasi manusia , dimanakah pembelaan kita yang mengaku umatnya? Kala al-Quran diputarbalikkan, adakah sikap perjuangan dan pembelaan? Padahal, bukankah ayat demi ayat al-Quran dahulu dibela oleh Rasulullah dan para sahabat dengan pemikiran, harta bahkan nyawa mereka? Kini, saatnya kita menunjukkan cinta hakiki kita kepada Rasul dengan jalan menerapkan, memperjuangkan dan membela Islam yang beliau sampaikan!

Tak terlintas dalam fikiran mereka untuk menangguhkan penerapan hukum Allah tersebut. Mereka benar-benar memegang prinsip, 'sami'na wa atho'na, kami mendengar dan kami pun mematuhinya'. 

Abu Buraidah menceritakan bahwa ayahnya pernah mengisahkan, “Kami tengah duduk-duduk sambil minum di padang pasir. Saat itu kami bertiga atau berempat. Di hadapan kami tersaji bejana berisi minuman keras. Kami pun minum-minum menikmatinya. Tiba-tiba turunlah ayat pengharaman minuman keras dari Allah SWT kepada Rasulullah Muhammad SAW: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum arak, berjudi, menembah berhala, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran meminum arak dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu dari mengerjakan pekerjaan itu. 

Dulu, pernah kaum wanita berkumpul bersama dengan Ibunda 'Aisyah radhiyallahu 'anha. Beliau menuturkan keutamaan wanita Quraisy dan Ansar, serta keimanannya pada wahyu yang diturunkan. Lalu, beliau menyampaikan bahwa telah turun surat an-Nur ayat 31 tentang jilbab: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya”. Pada saat yang sama, para suami segera menyampaikan ayat tersebut kepada para isterinya, anak-anak perempuannya, saudara-saudara perempuannya, dan seterusnya. Bersegeralah mereka mengambil sarung, seraya merobeknya dan menutupkannya ke seluruh tubuhnya. 

Ibunda 'Aisyah pun berdo'a: “Semoga Allah merahmati kaum wanita yang hijrah pertama kali, ketika Allah menurunkan firman-Nya, 'Dan hendaklah mereka menutupkan kain tudung ke dadanya' segeralah kaum wanita itu merobek kain sarung mereka untuk dijadikan tudung dan menutup kepala mereka dengannya”. 

Para wanita itu tidak mempertimbangkan dulu apakah muslihat atau tidak. Tidak pernah mereka terfikir, apakah dengan memakai tudung akan mengurangi kecantikannya. Tak ada keberatan dalam hatinya. Yang ada dalam dada mereka hanyalah semangat untuk segera patuh dan taat kepada Allah SWT, Pencipta mereka. 

Sejak Rasulullah dan para sahabat hijrah dari Makkah ke Madinah, mereka solat menghadap Baitul Muqaddas (Masjid al-Aqsha). Setelah hijrah selama enam belas atau tujuh belas bulan lamanya, turunlah ayat yang memerintahkan Nabi Muhammad SAW mengarahkan kiblatnya ke Baitul Haram, Ka'bah di Makkah. Sejak itu Nabi pun solat menghadap ka'bah. Pada hari turunnya perintah tersebut, ada seorang sahabat yang turut solat Asar bersama dengan Rasulullah. Selesai solat, dia keluar menuju kaum Ansar. Dia pun bersaksi bahawa dirinya telah solat bersama dengan Nabi SAW dengan menghadap ke arah ka'bah. Kaum Ansar yang ketika itu sedang solat Asar dalam keadaan ruku’ pun segera mengubah arah kiblat mereka dari Baitul Muqaddas ke arah ka'bah. 

Sungguh pemandangan yang indah. Tidak terlontar dari mulut atau hati mereka , nanti saja menghadap ka'bahnya saat solat Maghrib”. Tak terlintas dalam fikiran mereka untuk menangguhkan penerapan hukum Allah tersebut. Mereka benar-benar memegang prinsip, sami'na wa atho'na, kami mendengar dan kami pun mematuhinya. 

Bahkan, sikap yang sama mereka lakukan kala dituntut mengobankan nyawanya sekalipun. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah SAW saat perang Uhud, 'Bagaimana pandanganmu, wahai Rasulullah, jika aku terbunuh saat ini? Di manakah tempatku setelah mati?' Rasulullah pun segera menjawab: 'Engkau akan berada di surga'. Mendengar jawapan Nabi tersebut, orang itu langsung melemparkan buah-buah kurma yang ada di tangannya. Ia menuju ke medan perang hingga gugur sebagai syuhada. 

Kini, Islam telah turun sempurna. Berbagai hukum syariat telah diberikan oleh Allah Zat Maha Pemberi Petunjuk. Misalnya, dalam menghadapi krisis global, Islam telah menyediakan strategi jitu, iaitu: Jadikan emas dan perak sebagai mata wang, hilangkan riba hingga perbankan ribawi tiada lagi, lenyapkan judi, tegakkan sistem kepemilikan individu, negara dan umum sesuai dengan tuntutan syariah. Itulah penyelesaian yang seharusnya diterapkan oleh umat Islam. 

Begitu juga, ketika negeri-negeri kaum Muslim dijajah oleh kaum Kafir dan sekutunya, kaum Muslim pun segera menyatukan langkah dan kekuatan untuk membangun negara besar yang dapat melenyapkan kezaliman mereka. Lalu, pemimpin kaum Muslim mengumandangkan jihad melawan kaum kafir. Nescaya, munculah para pahlawan yang rindukan kesyahidan menyambut seruan Allah SWT: ”Di antara orang-orang mu'min itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada pula yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah janjinya”

Wahai kaum Muslim, adakah kepatuhan penuh terhadap syariat dalam diri kita sebagaimana para sahabat? Atau kesenangan dunia telah menjerat umat ini hingga lebih takut kepada manusia dan abai kepada Pencipta manusia?

Pemimpin (imam) itu adalah penggembala, dan ia akan ditanya tentang gembalaannya itu, ” begitu kata Nabi SAW sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari. Pemimpin sejati adalah pemimpin yang benar-benar menjaga umatnya, mulai dari akidah hingga kesejahteraannya. Fungsi pemimpin adalah menjadi benteng. Nabi menyatakan, “Pemimpin (imam) adalah benteng, umat berperang di belakangnya dan dilindungi olehnya”. Itulah sebabnya, para ulama salaf mendudukkan pemimpin sebagai penjaga Islam dan umatnya. 

Para Khalifah benar-benar menjadi benteng bagi akidah umat islam. Dalam rangka menjaga akidah kaum Muslim, Khalifah Abu Bakar Shiddiq pernah mengutus Khalid bin Walid ke Yamamah untuk memerangi Musailamah al-Kadzab yang mengaku sebagai Nabi. Misi itu pun berhasil hingga Musailamah terbunuh dalam pertempuran. Begitu juga, saat ada kelompok yang murtad, Abu Bakar segera menyelamatkan akidah umat. Beliau mengutus al-'Ala bin al-Hadhrami untuk menuntaskan kemurtadan di Bahrain, dan al-Muhajir bin Abi Umayah untuk menyelesaikan masalah kemurtadan di Najir. Berbagai cara untuk menghentikan pemurtadan. Itulah sikap pemimpin Islam binaan Rasulullah SAW. Berbeza dengan itu, pemimpin kaum Muslim sekarang tidak membentengi akidah umat. Pemurtadan dibiarkan dengan dalih kebebasan beragama. Hak asasi manusia dijadikan pegangan dan agama baru, sementara ajaran Islam dilupakan. 

Sejarah Islam mencatat betapa besarnya perhatian para khalifah sebagai pemimpin umat terhadap urusan mereka. Sebut saja Khalifah Umar bin Abd Aziz. Sejak dilantik menjadi khalifah, beliau bertekad untuk mengabdikan segenap hidupnya untuk mengurus rakyatnya. Atha' bin Abi Robah menceritakan bahwa isteri Umar bin Abd Aziz, Fatimah, pernah menemui suaminya saat berada di ruang solat rumahnya. Fatimah menemukan Umar sedang menangis tersedu-sedu hingga air matanya membasahi janggutnya. Ia pun segera bertanya kepada suaminya itu, “Wahai, Amirul Mukminin, adakah sesuatu yang telah terjadi?” Umar bin Abd Aziz menjawab, “Duhai Fatimah, sungguh di fikiran ada urusan umat Muhammad SAW sama ada yang berkulit hitam ataupun putih. Kerananya, aku berpikir tentang mereka kaum fakir yang lapar, orang sakit yang tidak punya pembelasan, orang yang dizalimi lagi dicengkeram, orang yang terasing dan ditawan, golongan tua, keluarga yang banyak anak tetapi sedikit hartanya, dan urusan lain mereka di setiap sudut bumi dan negeri. Padahal, aku tahu bahawa Tuhanku pasti meminta pertanggungjawabanku kelak pada hari kiamat. Aku takut kelak sekiranya tidak memiliki hujah di hadapan-Nya. Itulah sebabnya aku menangis. ”

Ironisnya, sikap seperti ini hampir-hampir tidak dapat ditemukan pada diri pemimpin dewasa ini. Orang miskin dirawat di rumah sakit kerana tidak punya harta, bahkan ada yang meninggal tanpa perawatan. Seterusnya disediakan rumah, justeru penggusuran dilakukan dimana-mana. Jerit tangis penghuninya tidak diguris. Padahal, Rasulullah SAW bersabda, ”Barang siapa yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk mengurusi sesuatu dari urusan umat Islam kemudian ia tidak memperhatikan kepentingan, kedukaan dan kemiskinan mereka, maka Allah tidak akan memperhatikan kepentingan, kedukaan dan kemiskinannya pada hari Kiama nantit”

Di dalam krisis global ini, umat Islam memerlukan pemimpin sejati. Pemimpin yang menjadi benteng Islam sekaligus pelayan umat, seperti Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar bin Abd Aziz. Tanpa itu, mustahil umat islam menjelma menjadi umat terbaik, kaum Muslim tetap akan menjadi buih. Bangkitlah!


Disediakan oleh: Muhammad Hafiz Bin Zakaria

Ustaz Abd Aziz bin Harjin
Pensyarah Tamadun Islam
Universiti Teknologi MARA Perlis
02600 Arau 
PERLIS
MALAYSIA

013-4006206
04-9882701
abdazizharjin@perlis. uitm. edu. my
http://abdazizharjin. blogspot. com

No comments:

Post a Comment